Saturday 15 November 2014

Thursday 11 September 2014

You Are More Than A City

Photo by Zendi

Awalnya cuman minta izin repath, eh malah keterusan sampe jadi ini tulisan random. Semarang, kota? Bukan! Menurut gw Semarang itu rumah yang udah nuntun gw jadi kaya gini, apa-apa KANE, dikit-dikit KANE. Menuntut ilmu disini cuman jadi alibi semata aja buat belajar yang namanya hidup, ga hidup yang serius-serius banget sih. Hehehe, tapi mau ga mau ya kita harus bertanggung jawab sama alibi yang kita buat.

Jadi, Semarang itu:
1.  Kota tumbuh dan berkembang.
2.  Tak ada hari tanpa ketawa.
3.  Tempat awal jadi orang yang muter-muter Indonesia sampai bisa nyambangi benua biru.
4.  Kota penuh drama.
5.  Kota 1000 Gebetan 0 Pacar 1 Istri.
6.  Kota para relawan sticker.
7.  Kota tempat bertemunya orang-orang KANE dan telah menjadi sebuah keluarga `SS`
8.  Forget your exam, lets play truth or dare.
9.  Kota yang menegaskan "baik aja ga cukup" dan "bakar ayam aja ga cukup, minimal kambing"
10.Dari Tegal Sari no. 3 gang 3 Rotterdam 3 menuju tak terbatas.


Terima Kasih Semarang 

Sunday 7 September 2014

Pampang


Tak kenal maka tak sayang. Ya, kalo gw sih tetep sayang walaupun ga kenal. Hehe
Hari pertama trip di borneo, gw berkunjung ke Pampang. Sebuah desa wisata yang bisa liat suku dayak secara langsung. Dari yang telinga panjang sampai bocah-bocah antagonis pun ada disini.
Suku dayak di Pampang sangat berbeda jauh dengan suku dayak Punan. Simpelnya punan masih sangat primitif, sedangkan Pampang sudah mengenal uang dengan baik.


"Satu kali foto, 25 ribu" Oh, oke gpp. Menurut gw ga terlalu masalah, jarang-jarang juga bisa foto bareng. Setelah foto, gw masuk ke dalam rumah panjang khas suku dayak. Ternyata bakal ada tarian nyelamasakai (tarian selamat datang) dan ade gw bakal ikutan nari juga. Kane buat disimak. Ett, jangan ke kane-an dulu. Anda masih perlu membayar untuk sekedar tarian dan foto bersama penarinya. Oh, oke gpp. Menurut gw ga terlalu masalah jarang-jarang juga bisa liat dan foto bareng.

Untuk yang ketiga kalinya, ada lagi biaya yang harus dikeluarkan. Yaitu masing-masing penari minta bayaran juga. Walaupun para penari masih kecil-kecil, tapi mereka nagih duit udah kaya nodong plus ditambah ngambek-ngambek khas anak kecil gitu. Lebih mirisnya lagi, mereka berani berontak sama orangtua yang menjadi tamu disana. Emm, gw ga tau pergaulan di Pampang kaya gimana, sampe-sampe mereka bisa kaya gitu. Sempet terjadi sewot-sewotan antara penari dan bapak-bapak, kira gw bakal diudahin aja dengan gratis semuanya. Tapi ternyata engga, memang semuanya udah kelar dan gw pengen balik tapi seorang bapak berkata sama gw "maafkan ketidanyamanannya pak, 25ribu aja untuk kebersihan"

They are wearing culture to .................  Emm isi sendiri aja deh.

Backpacker Point:

1. Gw seneng bisa berkunjung buat ngeliat suku dayak. Sekalian liat mereka walaupun cuman dikit, such as setiap tato yang memiliki makna, topeng hudog yang harganya sama dengan android, para ksatria yang tidak menampilkan tarian mereka dengan berbagai alasan.

2. Gw seneng bisa mengenal kebudayaan gw sendiri, semakin banyak berkunjung semakin cinta sama ibu pertiwi.

3. Sudah kewajaran menurut gw minta bayaran. Namanya juga desa wisata, tapi kenapa berasa seperti ditodong. Inilah yang gw takutin dari kehilangan identitas. Kalo setiap saat selalu terjadi hal seperti yang gw alami, siapa lagi yang akan melihat kebudayaan bangsa sendiri. Uang bukan masalah, attitude lah yang menjadi garis besar masalah tersebut. Positifnya, semoga setiap uang yang diberikan oleh pengunjung dimanfaatkan sebagai keberlangsungan desa wisata ini.



Salam Kane
Aldair

The Way To Kambas


Pertama kali yang terlintas tentang Way Kambas itu adalah gajah. Tapi ternyata ga cuman gajah lho, Way kambas juga dijadikan tempat konservasi untuk badak sumatra. Untuk ngeliat badak sumatra ga bakal semudah ngeliat gajah, karena bukan tempat untuk umum. Jadi apa bisa ngeliat badak? jawabannya bisa! Cara pertama, klo lu seorang peneliti yang memang ada hubungannya dengan badak, lu bisa masuk kawasan "rhino residence", cara yang kedua, gunakan link dari orangtua.

Kunjungan gw ke Way Kambas kali ini menggunakan cara yang kedua, hahahaha. Kebetulan temen bokap gw adalah peneliti, yang suami (om Eeng) emang peneliti badak dan istri (tante Erma) berkerja di C4. Mereka berdua dan anak perempuannya Sania pengen liburan ke Way Kambas, nah jadi gw tinggal mikirin cara pergi ke sana. KANE!